This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 19 April 2012

Pete-Pete

Pete-Pete
Lokasi : Kendari
Foto by @maswidik

Tugu MTQ

Tugu MTQ
Lokasi : Kendari
Foto by @maswidik

MTQ Hot

MTQ Hot
Lokasi : MTQ Square Kendari
Foto by @maswidik

Ina Penjual Ikan

Ina Penjual Ikan
Lokasi : Kendari
Foto by @maswidk

Katinting


Katinting
Lokasi : Teluk Kendari
Foto by @maswidik

Berlabuh


Berlabuh
Lokasi : Teluk Kendari
Foto by @maswidik

Air Terjun Moramo


Air Terjun Moramo
Lokasi : Moramo, Konawe Selatan
Foto by @maswidik

Rabu, 18 April 2012

Nikmatnya Jagung Rebus di Pondidaha


Apa yang anda bayangkan saat capek berkendara di tengah perjalanan jauh? Tentu anda ingin beristirahat sejenak di rumah makan, warung atau spot-spot peristirahatan seperti yang lazim terdapat di pinggiran tol menuju Jakarta. Namun, jangan harap menemukan tempat yang serupa di daerah Jawa bila anda melakukan perjalanan di daerah Sulawesi Tenggara. Biasanya hanya terdapat gubuk-gubuk sederhana di pinggir jalan dengan menu “seadanya” pula, itupun akan sulit anda temukan setiap saat. 

Di jalur poros Kendari-Kolaka, tepatnya di Kecamatan Pondidaha, Kabupaten Konawe, terdapat kawasan peristirahatan yang cukup unik walau sederhana. Sepanjang jalan di Pondidaha, terdapat gubuk-gubuk warung terbuka beratapkan rumbia yang berjejer di kanan dan kiri jalan. Warung-warung itu menawarkan menu khas yang sama, yakni jagung rebus. Tampilan mereka juga cenderung seragam. Ada semacam balai atau dipan kayu memanjang untuk duduk lesehan para pengunjungnya. Kalau terlalu capek, sah-sah juga anda berbaring di tempat itu. 

Sementara ciri khas utamanya adalah dua buah tungku tanah liat dengan bentuk bulat melingkar yang rata-rata ada di depan warung. Tungku dengan bahan bakar arang itu selalu panas sepanjang hari untuk memasak jagung di dalam panci alumunium atau sekedar menjaga jagung supaya tetap hangat. Ada dua jenis jagung rebus yang dijual di Pondidaha. Jenis jagung harum manis yang berwarna kuning dan jagung biasa yang sering dijadikan bahan baku ketan oleh penduduk setempat. Penyajiannya pun cukup unik, si penjual yang rata-rata gadis-gadis muda akan mengambilkan piring berisi beberapa buah jagung dan sebuah piring kecil lagi untuk bumbu pelengkapnya, yakni irisan jeruk nipis dan garam. Jadi kalau ingin citarasa yang khas, anda tinggal mengoleskan air jeruk nipis dan garam ke batang jagung. Hmm… mantap… 

Selain jagung rebus, setiap warung rata-rata juga menyediakan minuman seperti kopi, teh dan minuman botol. Jika perut anda lapar dan tidak cukup hanya dengan makan jagung, anda bisa memesan mie instan di tempat itu. Tapi jangan membayangkan mie instant itu akan direbus dengan benar, sudah lazim di daerah Sulawesi apabila mie instan itu hanya dipanaskan dengan air panas saja. Makanya sajian demikian dinamakan mie siram. 

Ana, seorang gadis penjual jagung rebus, mengatakan bahwa warung-warung yang berjejer sepanjang jalan itu rata-rata buka mulai sehabis Subuh hingga jam sepuluh malam. Namun, ada juga beberapa yang buka hingga 24 jam. Uniknya lagi, cara menarik perhatian calon pembeli untuk singgah ke warung mereka juga cenderung sama. Ketika ada mobil atau motor lewat dan memperlambat kecepatannya, para gadis itu akan serempak berdiri dan membuka panci berisi jagung sambil menawarkan jagung. 

“Jagung…! Jagung…!” kata mereka. Hmm, sudah tahu kalau mereka jualan jagung masih saja berteriak “jagung..”, hehe… 

Harga sebuah jagung rebus pun cukup terjangkau, hanya dua ribu rupiah untuk setiap jagung. Menurut Ana, mereka mendapatkan pasokan jagung dari kebun-kebun di desa mereka sendiri. Jadi bisa dikatakan, kaum lelaki di desa itu berkebun jagung, sementara para gadisnya berjualan di warung jagung rebus. 

Di kawasan “jagung rebus” Pondidaha sendiri, saya taksir terdapat sekitar seratusan lebih warung. Namun, jumlah itu bisa bertambah setiap tahunnya karena banyak warga yang tertarik untuk membuka warung jagung rebus di tempat yang masih kosong. 

Bisnis jagung rebus itu rupanya termasuk menggiurkan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup warga setempat. Tak hanya tanaman jagung yang mereka usahakan. Bahkan di daerah tersebut penduduknya juga memproduksi tungku tanah liat berbentuk bulat serta arangnya yang dibungkus per-karung. Selain untuk kebutuhan warung jagung rebus, produksi tungku dan arang itu juga ditujukan kepada pembeli eceran dan partai besar yang biasa membawanya ke Kendari.

Asyiknya "Mencakar" di Lawata

Sekilas tak ada yang istimewa dari kerumunan orang di pinggir jalan Lawata, Kendari itu. Tiap sore, kawasan itu memang menjadi tempat menggelar dagangan berupa pakaian bekas impor. Namun, saya baru ngeh sebulan belakangan ini bahwa di tempat itulah sebuah hobi unik muncul. “Mencakar” adalah istilah yang belum lama saya kenal. Berasal dari istilah “Cakar” atau “Cap Karung”, merujuk pada pakaian bekas impor yang dikemas dengan karung besar. Istilah “Cakar” kini sama populer dan sama maknanya dengan istilah “RB” (rombengan), yang oleh warga Kendari dan sekitarnya dipahami sebagai kode untuk menyebut barang bekas impor, dari mulai kaos, celana, sepatu, aksesoris hingga kasur spring bed. 

Konon barang “RB” atau “Cakar” yang masuk di Kendari adalah dari Singapura. Namun, soal legal atau tidaknya, kalangan “pencakar” tidak ambil pusing. Toh, kita membelinya di tempat umum yang tentunya tidak ada larangan dari pihak berwajib. Berburu barang “Cakar” atau “RB” di Lawata ternyata bisa menjadi hobi yang menyenangkan, apalagi jika kita datang pada saat “buka baru”. Istilah “buka baru” dipakai pada saat si penjual mengeluarkan satu bal karung besar yang masih terbungkus rapat, kemudian dibuka di depan para “pencakar” yang sejurus kemudian akan saling berebut pakaian yang sekiranya masih bagus dan bermerk. 

“Saya suka suasana saat buka baru, saling berebutan baju impor, itulah asyiknya walau terkadang harga baju yang kita dapat sama atau lebih mahal dibanding baju baru di toko, yang penting ada nilai kepuasan saat mendapatkan baju yang bagus,” tutur Banawula, seorang pengunjung setia gelaran “RB” di Lawata. 

Banawula telah menganggap perburuannya ini sebagai hobi dan ia telah melakukannya selama bertahun-tahun. Sebagian besar pakaian yang ia miliki merupakan barang “Cakar”. “Saya biasa mencucinya dua kali sebelum baju Cakar ini saya pakai,” ujarnya. Soal gaya, nyatanya Banawula sering dipuji oleh teman-teman sekantornya sebagai sosok yang fashionable. Kebanyakan baju yang dikenakannya tergolong unik dan jarang ditemui di toko-toko dalam negeri. Padahal kenyataannya baju-baju itu adalah bekas pakai. Timbul Keakraban Saat “buka baru” berarti saat berebutan. Namun, selama ini tak pernah terjadi perselisihan saat aksi “pencakaran” terjadi. Ketika tangan saya lebih cepat satu detik memegang sebuah baju, maka orang lain yang terlambat satu detik itu akan merelakan untuk melepasnya kepada saya. Toh, belum tentu saya akan membelinya juga. Masih ada proses tawar-menawar dengan penjualnya. Saya sempat kaget saat ada orang yang sepertinya belum saya kenal menyapa dengan ramah. 

“Kemarin kaos Diadora kena berapa?” tanyanya. 

“Emmm… eh, dua puluh ribu…” kata saya sambil berpikir heran, kok orang itu tahu barang apa yang saya beli kemarin. 

“Bagus itu barang, asli, ini saya dapat celana juga murah, cuma tiga pulu lima ribu,” katanya menunjuk celana jeans pendek yang dipakainya. 

Rupanya sering datang ke tempat itu maka kita akan mengenal wajah-wajah yang sama, yang tiap sore datang menunggu saat “buka baru”. Sesama “pencakar” menjadi akrab satu sama lain tanpa pernah berkenalan dan tahu nama. 

“Mas, ini cocok buat kamu,” kata seorang “pencakar” yang wajahnya mulai familiar. 

Hmm, mana ada ketika di mal kita akan menemukan orang tak dikenal yang tiba-tiba mengulurkan baju yang sekiranya cocok untuk kita pakai? Bagi kalangan “pencakar”, meski datang hampir tiap sore, tetapi mereka tidak harus membeli baju atau celana, karena suasana “cakar-mencakar” itulah yang mengasyikkan. Seperti saya yang seringkali telah memegang beberapa lembar kaos, akhirnya saya tidak jadi membelinya karena tidak cocok dengan harga yang ditawarkan penjual. 

“Itung-itung olahraga Mas,” ucap seorang kawan “pencakar”. 

Ya, mengais tumpukan baju dan celana memang butuh energi yang lumayan juga. Keringat tak terasa menetes saat kita asyik memilih baju. Namun, tak jarang tawa juga akan lepas di tengah kerumunan aksi “pencakaran”. 

“Aduh ini celana dalam kok masuk sini? Gede lagi…” dan celetukan itu akan disambut tawa oleh sesama “pencakar”.

Sektor Pariwisata Wakatobi Terus Digenjot


Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi terus mengembangkan potensi alamnya, sebagai magnet dalam menarik wisatawan berkunjung ke daerah tersebut. Salah satunya dengan cara mempermudah akses masuk maupun keluar dari Wakatobi. Dimana sejak beberapa bulan lalu, maskapai Exspress Air, telah melayani arus penumpang baik dari Wakatobi-Makassar maupun Wakatobi--Maluku. 

"Kita berharap dengan terbukanya akses masuk maupun keluar dari Wakatobi akan terus menarik para investor keparawisataan dalam melakukan investasi di Wakatobi, seperti pembangunan hotel maupun resort," kata Bupati Wakatobi, Hugua kemarin. 

Menurutnya, dengan banyaknya investor yang melakukan investasi di bidang keparawisataan tentutnya, akan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat Wakatobi. 

"Hadirnya para wisatawan di Wakatobi, akan membuat usaha transfortasi rakyat lancar, kebutuhan-kebutuhan yang bisa didapatkan di mini market akan laku terjual, souvenir-souvenir yang dikembangkan akan dicari wisatawan," jelasnya. 

"Jadi, semakin banyak wisatawan yang berkunjung maka, pergerakan ekonomi kerakyatan akan semakin pesat. Dana segala sumber-sumber ekonomi terus tumbuh," tambahnya. (KENDARI POS)

Nenek Tua Penjual Pokea


Nenek tua itu duduk jongkok di pinggir jalan Lawata, Kota Kendari. Tangan kirinya memegang sebatang rokok yang menyala. Sesekali ia menghisap lintingan tembakau yang notabene mengandung racun itu. Tangan kanannya lebih sering ia tempatkan di kepalanya, memegangi tutup kepala yang ia kenakan. Mungkin ia kepanasan, karena sore itu udara masih terasa panas di sekitar Pasar Sore Lawata. 

Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Namun, pastinya nenek itu tidak sedang nongkrong tanpa tujuan. Di depannya terlihat sebuah ember lusuh yang ditutup dan di atasnya terdapat tiga wadah kecil berisi daging pokea. Nenek tua itu adalah salah satu penjual pokea atau kerang sungai yang jumlahnya di pasar itu hanya bisa dihitung tidak lebih dengan jari satu tangan saja. 

Pokea adalah istilah setempat untuk menyebut kerang air tawar yang hidup di sungai sekitar Kendari. Kebanyakan pokea berasal dari sungai besar di Sampara yang berjarak kurang lebih 20 kilo meter dari Kota Kendari. Satu wadah kecil pokea basah mentah, seperti yang nenek tua itu jual, harganya lima ribu rupiah. Sudah cukup untuk diolah menjadi hidangan untuk empat orang. 

Hasil olahan paling disukai dari pokea ini adalah sate pokea. Di beberapa tempat wisata di sekitar Kendari, terutama di daerah pantai, banyak terdapat warung yang menjajakan menu sate pokea. Kebanyakan pedagang sayur dan ikan di Pasar Lawata bisa bertahan hingga pukul sembilan malam, jika dagangannya belum habis terjual. 

Masih beberapa jam lagi waktu untuk nenek tua itu bisa menghabiskan pokea kepada pembelinya. Namun, ironisnya terdapat banyak waktu juga bagi nenek itu untuk terus menghisap rokoknya. Wajah tua keriputnya tidak seharusnya disiksa oleh racun nikotin. Keuntungan dari berjualan pokea pun pastinya tidak seberapa dan alangkah ruginya ketika ia “bakar” dan menguap menjadi asap rokok.

Selasa, 17 April 2012

Teluk Kendari dan Potensinya


Ketika seseorang berkunjung ke Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, pertanyaan utama yang sering dilontarkan adalah, “ke mana tempat paling asyik untuk berwisata?”. Yups, banyak orang sepertinya belum terlalu ngeh dengan obyek wisata andalan di Kendari. Belum ada ikon utama yang identik dengan Kota Kendari, seperti halnya ketika orang mau datang ke Makassar tentu ia sudah terbayang ingin datang ke Pantai Losari. Atau seperti ketika orang mendambakan asyiknya menikmati Pantai Kuta ketika hendak ke Bali. 

Sebenarnya Kendari memiliki potensi besar bernama Teluk Kendari. Teluk ini memanjang dari pelabuhan di kawasan Kota Lama hingga lurus ke arah barat yang dekat dengan pengembangan pusat kota baru. Teluk Kendari bukanlah seperti pantai yang memiliki pasir putih untuk bermain. Sepanjang pinggir teluk ini difungsikan sebagai area publik, sebagai jalur transportasi dan kuliner. Ujung timur teluk ini terdapat pelabuhan besar untuk kapal barang, kapal nelayan maupun kapal penumpang menuju Bau-Bau, Pulau Buton dan tujuan wisata alam bawah laut, Wakatobi. 

Bergeser sedikit ke barat, terdapat tempat pelelangan ikan yang menjadi sumber pasokan ikan laut di Kendari. Ketika sore hari, di dekat pelelangan ikan itu muncul semacam pasar tiban yang digunakan pedagang dan nelayan untuk menjual ikan-ikan hasil tangkapan yang masih segar, macam baronang, kakap, bawal, cumi dan udang. 

Belum lengkap berkunjung ke Kendari tanpa menikmati ikan bakarnya. Ya, di kawasan Teluk Kendari juga terdapat warung dan restoran yang menyajikan menu utama ikan bakar. Anda tinggal pilih jenis dan ukurannya di bak penyimpanan ikan, bisa juga memesan cara memasaknya, mau dibakar atau digoreng, mau pakai sambal biasa atau saus tiram. Menu utama yang sayang untuk dilewatkan tentu saja ikan baronang bakar. 

Kawasan Teluk Kendari memang direncanakan untuk pusat kuliner. Selain warung dan restoran ikan yang dibangun permanen, ada pula warung atau kafe tenda yang bermunculan saat sore hingga tengah malam. Warung-warung non-permanen ini menyajikan menu-menu khas tradisional seperti pisang epek, jagung bakar, minuman sarabba, es pisang ijo dan kopi. Ketika musim durian tiba, seperti saat ini, bermunculan juga pedagang durian. Buah durian yang dijajakan berasal dari Kabupaten Kolaka, ukurannya lebih kecil tapi kata orang-orang rasanya manis. Kata orang sih, soalnya saya nggak doyan durian. :) 

Menariknya, kafe-kafe tenda pada malam hari menyediakan fasilitas karaoke outdoor tadengan memasang layar, proyektor dan seperangkat sound system. Pengunjung di satu meja akan diberi jatah 3 lagu gratis setiap kali kunjungan. Namun, jangan coba-coba menyanyi tanpa percaya diri tinggi dan suara yang lumayan. Pasalnya orang-orang yang berani unjuk suara di sini biasanya sudah terbiasa nyanyi di depan umum dan memilik suara bak peserta Indonesian Idol. Wah, saya saja minder… hehe… 

Sore hari hingga malam adalah saat tepat untuk sekedar berekreasi di Teluk Kendari. Kalau siang? Hmm… jangan tanya bagaimana panas dan teriknya matahari. Sore menjelang malam di sepanjang jalur teluk banyak orang-orang datang untuk menikmati pemandangan laut. Ada yang sekedar duduk-duduk di pinggir teluk, ada yang duduk berduaan (sepertinya pacaran deh.. he…), ada yang menikmati jagung bakar atau cemilan lainnya, ada yang mancing, ada pula anak-anak yang mandi di laut (tentu saja masih di pinggir, di tempat yang dangkal). 

Teluk Kendari lebih ngetop di kalangan penduduk setempat dengan istilah Kendari Beach atau KB (baca: KeBi). Kawasan ini sungguh besar potensi wisatanya, dan tentu menjadi tujuan wajib bagi setiap wisatawan datau pengunjung yang datang ke Kendari.

Ikan Bakar, Sayur Kampung dan Romusha


Matahari sudah menghilang ketika kami tiba di Desa Matabubu Jaya, Kecamatan Lainea, kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam dari Kota Kendari telah membuat perut kami lapar. Untungnya isi otak kami berlima sama saat merencanakan menu apa yang pantas dinikmati saat itu. 

Yups, ikan bakar adalah satu-satunya yang terbayang. Kami menyusuri jalanan desa yang sepi malam itu hingga ke Dermaga Matabubu. Hanya ada dua warung makan yang ada di desa itu. Dua-duanya menawarkan menu ikan bakar di papan nama warung. Bukan suatu hal yang mengejutkan mengingat desa itu merupakan wilayah pesisir. Kami memilih satu warung yang terbuka, seorang ibu agak gemuk menyambut kami. Ketika kami tanyakan apakah masih ada ikan bakar, ia mengangguk dan segera mengambilkan ikan-ikan yang masih segar untuk kami pilih. 

Hanya ada ikan bandeng atau warga setempat menyebutnya dengan istilah ikan bolu, serta jenis ikan putih atau yang biasa kita kenal sebagai ikan kakap. Kami pun memilih jenis yang kedua untuk dibakar. 

“Tunggu sebentar nah, saya masak dulu nasi dan ikannya…” kata si ibu sambil menuju ke dapur. 

Hal biasa di daerah pedalaman Sulawesi, apabila sebuah warung mesti menyiapkan menunya, termasuk nasi, ketika pengunjung datang. Karena ada pengunjung adalah hal yang luar biasa, itu pun bisa dipastikan pendatang, karena warga setempat pastinya tidak terbiasa makan di warung. Seperempat jam menunggu membuat kami gatal juga. Akhirnya kami pun ikut ke dapur nan gelap dan hanya diterangi sinar lilin itu untuk menawarkan bantuan pada si ibu. 

“Kami saja yang bakar ikan bu…” si ibu tertawa dan dengan senang hati ia memperbolehkan kami membakar ikan di atas tungku arang dan batok kelapa. 

Sementara nasi dimasak di atas tungku itu juga dengan dandang yang sudah berwarna hitam. Tak perlu bumbu macam-macam untuk membakar ikan ala Tolaki, suku bangsa asli Kendari dan sekitarnya. Cukup dioles minyak sayur dan jeruk Tolaki. Jeruk ini agak lain dengan jeruk nipis biasa, airnya lebih banyak. 

“Sambalnya pedis?” tanya si ibu. 

“Ya…” jawab kami. 

Sambal untuk teman makan ikan bakar ala Tolaki juga sederhana, cukuplah cabe merah dan tomat diuleg. Lima belas menit kemudian si ibu melongok pekerjaan kami. 

“Sudah itu, diangkat mi… jangan terlalu masak, namanya ikan laut lebih enak dimakan saat masih berdarah-darah…” ujarnya sambil tersenyum. 

Tentu saja ia hanya bercanda, tak mungkin ikan berdarah-darah kita makan. Maksudnya jika ikan masih segar, dibakar tanpa gosong tentu lebih enak. Dan saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, ikan putih bakar lengkap dengan sambal dan nasi putih panas telah tersaji di meja. 

“Sebentar nah, sayurnya menyusul…” Lima menit kemudian si ibu itu muncul dengan membawa semangkuk besar sayur berkuah yang panas dan masih berasap. 

“Ini namanya sayur kampung, tak ada di kota,” katanya menunjuk sayur berkuah yang terdiri dari potongan kacang panjang dan sayur oyong. 

Dengan lahap kami makan hingga menghabiskan dua bakul nasi putih dan lima ekor ikan putih bakar ukuran besar. Sayur kampung pun menjadi penutup makan yang luar biasa. Sebuah kombinasi dan cita rasa menu yang jarang kita dapatkan. Selepas makan kami menyempatkan ngobrol dengan ibu pemilik warung itu. Dan betapa kagetnya kami ketika ia mengaku keturunan Jawa asli padahal logatnya sama sekali sudah plek mirip orang Sulawesi. 

“Ayah saya asli Magelang, ibu dari Surabaya, tapi saya lahir dan besar di sini, jadi logat Jawa sudah hilang, ke Jawa saja ndak pernah…” 

“Oh, ibu transmigran tahun berapa?” 

“Bukan, orang tua saya dulu romusha dibawa Jepang ke sini, sampai sekarang ndak pernah pulang…”

“Oooh…” kami hanya bisa ber-oh-ria, membayangkan sekitar tahun 1940-an di desa itu bagaikan membayangkan sebuah hutan lebat pastinya. 

“Saya sih bisa bahasa Jawa, tapi logatnya logat sini… ngomong Jawa juga kalau ketemu orang trans di pasar…” 

Puas makan dan ngobrol akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Si ibu meminta Rp. 150.000,- untuk menu yang ia sajikan malam itu. 

“Maturnuwun yo bu…” 

 “Nggih mas…”

Dermaga Matabubu, Speed Boat dan "Damri"


Dermaga itu tampak sunyi dari kejauhan. Hanya beberapa orang dan beberapa nelayan saja terlihat beraktivitas. Sebuah perahu jenis speed boat terlihat bersandar di tambatan perahu. Sementara beberapa perahu kecil nelayan dibiarkan begitu saja di pinggir dermaga. Beberapa orang lelaki kekar tampak duduk-duduk menunggu sesuatu di sebuah rumah apung yang juga difungsikan sebagai warung. Rumah tersebut tampak menonjol sebagai satu-satunya bangunan paling menjorok di Dermaga Matabubu, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ketika kami datang menyapa, para lelaki itu menyambut dengan hangat dan ramah. 

“Silakan pak, mari duduk sini…” 

Sebuah keramahan yang ditunjukkan para awak speed boat kayu yang saat itu sedang menunggu penumpang. Adi, sang pemilik perahu itu, kemudian menjadi teman mengobrol yang menyenangkan saat kami menikmati pagi di dermaga kecil itu. 

“Jadwal speed kami sudah tetap, jam sembilan pagi berangkat dari sini ke Latawe,” cerita Adi. Latawe adalah sebuah desa di Kabupaten Muna, sebuah kepulauan di bagian selatan Sulawesi Tenggara. 

Kebanyakan perahu jenis speed maupun jenis katinting (perahu sampan bermesin tunggal), memang melayani rute penyeberangan ke desa-desa di wilayah Muna, seperti Lakudo, Lawa dan Lahorio. Sementara beberapa katinting juga hilir mudik mengangkut penumpang ke arah desa Polewali maupun desa Bangun Jaya, yang masih dalam satu wilayah kecamatan Lainea. 

“Penumpang kami datang dengan Damri dari Kendari, kami sudah dikontrak Damri untuk angkut penumpang ke Latawe, di sana ada juga Damri yang siap jemput,” tutur Adi. 

Hmm, hebat juga ini Damri, pikir saya, hingga pelosok daerah begini mereka layani juga. Menurut Adi, ongkos tiap penumpang dari Kendari hingga Latawe adalah Rp. 100.000,-. Adi dan kru speed boat hanya terima bersih dari pihak Damri tanpa harus menarik tiket lagi. “Timur Lakudo Ekpress”, demikian nama speed boat Adi. Ia memiliki tiga orang awak yang selalu membantunya. Speed boat itu berkapasitas 20-an orang. 

“Pernah terisi sekitar seratus orang saat lebaran…” katanya. 

Seratus orang?! Bagaimana bisa? Nekat betul jika Adi berkata benar. Keselamatan penumpang menjadi taruhannya. Namun, Adi menjelaskan ada asuransi Jasa Raharja bagi penumpang yang memiliki tiket resmi. Boleh jadi Adi terbilang enak mendapatkan penumpang, karena ia sudah disediakan pihak Damri. Tapi untuk beberapa waktu mendatang tampaknya Adi bakalan rela kehilangan kontrak. Ia menunjuk ke sebuah rumah di sisi timur dermaga, di tempat itulah sedang dirakit speed boat yang ukurannya lebih besar dibandingkan miliknya. 

“Kalau sudah jadi, speed baru itu yang dikontrak Damri,” jelasnya. 

Lho kok? Begitukah cara kerja perusahaan sekelas Damri? Main putus kontrak saja ketika dapat mitra yang lebih bagus. Ternyata saat meninggalkan dermaga itu saya baru ngeh alias paham. 

“Damri itu istilah orang sini untuk menyebut bis, sembarang bis disebut Damri…” itulah penjelasan rekan saya. 

Oalah… pantas saja, saya belum pernah melihat wujud bis Damri yang saya bayangkan seperti di Jakarta lalu lalang di daerah itu. Hanya bis biasa berukuran tanggung dengan body reyot penuh barang dan penumpang yang beberapa kali saya lihat. Rupanya yang demikian itu disebut juga sebagai “Damri” toh…

Melongok Petani Rumput Laut di Konawe Selatan


Bocah lelaki itu tampak bersemangat menarik gerobak kayu. Bersama seorang rekannya, ia membawa rumput laut hasil panenan ke tempat pengolahan yang jaraknya kurang lebih dua kilometer. Saat itu waktu masih menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Jadi, melihat bocah itu sibuk bekerja di waktu itu tentu orang bisa langsung membayangkan bahwa ia tidak lagi bersekolah. Toh, pekan lalu saat saya mengunjungi tempat budidaya rumput laut di Desa Watumeeto, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, saat itu bukanlah masa liburan sekolah. 

Lain lagi dengan para ibu-ibu dan remaja putri desa itu. Sejak pagi mereka telah meninggalkan rumah untuk berkumpul di rumah-rumah kayu di pinggiran laut itu. Sebagian besar dari mereka bertugas mengikat bibit rumput laut dengan tali yang panjang. Bibit rumput laut ini haruslah masih basah agar bagus ketika tumbuh di lautan. Sementara rumput laut hasil panenan dikeringkan di sekitar tempat itu oleh beberapa perempuan juga. 

Menurut warga setempat, memang ada pembagian kerja di tempat budidaya rumput laut, yakni kaum perempuan mengolah dan menjemur, sementara kaum lelaki bekerja di laut. 

“Satu kilo rumput laut kering dihargai delapan ribu, kadang tujuh setengah,” ujar salah satu petani rumput laut Desa Watumeeto. 

Sebuah angka yang kurang menguntungkan mengingat sekali panen dalam kisaran sebulan terkadang hanya menghasilkan 300 kilogram rumput laut kering. Rekor tertinggi saat panen pernah mencapai keuntungan 14 juta rupiah, itu pun sangat sulit disamai lagi karena berbagai faktor, antara lain cuaca. 

Memang petani rumput laut di Desa Watumeeto sulit beranjak dari taraf kehidupan saat ini mesti bisa dikatakan rumput laut adalah primadona ekspor terbaru dan sangat potensial. Rantai pemasaran yang terlalu panjang membuat petani yang sejatinya adalah ujung tombak malah menjadi pihak yang paling sedikit meraup untung. 

Para petani tergabung dalam suatu paguyuban, menjualnya kepada pengepul dari Kendari. Kabarnya setelah dari Kendari, rumput laut tersebut dibawa ke Surabaya dan entah diproses bagaimana lagi. Sebagian ada yang langsung diolah di pabrik, ada pula yang diekspor ke luar negeri dalam kondisi mentah. Sebagian warga Desa Watumeeto semula bekerja di kebun dengan mengandalkan tanaman jambu mete, kini mereka beralih mengolah rumput laut yang dirasakan menjanjikan. 

Namun, tanpa perhatian dan pembinaan dari pemerintah, nasib mereka tak akan menjadi lebih baik. Aplikasi teknologi untuk mendapatkan hasil panenan yang lebih baik belum maksimal masuk. Pun dalam hal permodalan. Hingga kini sebagian besar petani hanya mendapatkan modal dari pengepul yang mengikatnya dalam kontrak hasil panen. Sistem inilah yang semakin mendesak petani . Rumput laut memang hijau, segar dan menggiurkan. Tetapi jasa petani di sini seolah terlupakan.

Menikmati Musik Bambu Khas Sulawesi Tenggara


Sebuah kebetulan yang menyenangkan dan menghibur. Itulah pengalaman saya hari ini, Sabtu (12/3/2011) ketika bertemu dengan Pak Silikama, Kepala Desa Molinese, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan. Jarak yang saya tempuh untuk bertemu beliau adalah sekitar 50 kilo meter dari Kota Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara. 

Desa ini pun terbilang masih tertinggal dibanding desa-desa lain di sekitarnya yang memiliki jalan poros beraspal. Jalan desa Molinese nyatanya masih belum beraspal. Pak Desa, demikian istilah untuk memanggil seorang kepala desa di Sulawesi Tenggara, ternyata sedang mengajar di SD-SMP Negeri Satu Atap Desa Molinese, ketika saya datang ke rumahnya. 

Saya pun segera menyusul ke tempat dimaksud demi sebuah urusan pekerjaan. Untungnya waktu beliau bisa “diganggu” dengan kedatangan saya. Selesai sedikit urusan dengan saya, Pak Silikama bermaksud memberikan sedikit kenang-kenangan untuk saya. 

“Ayo baris atur posisi! Kita mainkan hasil latihan kita!” Pak Silikama ternyata juga pembina kegiatan musik bambu di sekolah itu. 

Ia memberi komando kepada anak-anak didiknya yang semula berlatih upacara untuk mendemonstrasikan kebolehan mereka memainkan alat musik tradisional Sulawesi Tenggara yang disebut sebagai musik bambu. Anak-anak itu dengan sigap berbaris di halaman sekolah, di bawah sebuah pohon. 

Pak Silikama memberi aba-aba kepada mereka untuk berbaris rapi dan menenteng alat musiknya masing-masing dengan cara yang benar. Alat musik bambu rupanya bermacam bentuknya. Ada yang besar dan panjang, ada yang disusun dari beberapa potong bambu dan yang sudah kita kenal selama ini adalah jenis seruling. 

Begitu Pak Silikama memberi aba-aba mulai, serempak anak-anak yang berjumlah sekitar 50 orang itu mengalunkan harmonisasi nada menyanyikan sebuah lagu daerah Sulawesi Utara yang terkenal, Si Patokaan. Bermacam alat musik bambu itu ternyata ditiup semuanya. Nada bas yang muncul dari bambu berukuran besar dan panjang terdengar lebih dominan. 

Inilah yang membedakan dengan musik bambu yang berasal dari daerah Sulawesi lainnya, utamanya Sulawesi Utara, yang konon selain tiup ada jenis alat musik pukul semacam kolintang. Selesai satu lagu, Pak Silikama membubarkan anak-anak tersebut untuk kembali beraktivitas seperti semula. 

“Maklum Mas, mereka baru tahu satu lagu sebab baru dua hari latihan…” ujar Pak Silikama. 

Hmm, dua hari latihan saja sudah membuat saya kagum terhadap musik bambu dan anak-anak itu. Pak Silikama menerangkan bahwa mereka dilatih khusus untuk menghadapi Pekan Olahraga Daerah (Porda) tingkat Kabupaten Konawe Selatan. Sebuah langkah bagus dengan memasukkan sebuah seni yang bisa dikatakan hampir punah untuk dimasukkan dalam perlombaan setingkat Porda. 

Musik bambu yang konon dahulu dimainkan saat pesta adat, nyatanya saat ini hampir terlupakan di tengah gempuran musik-musik modern. Bahkan pesta pernikahan jaman sekarang telah dikuasai organ tunggal dan goyangan dangdutnya. Kiprah dan semangat Pak Silikama dalam membina musik bambu patut diacungi jempol. Pun kemauan dan kemampuan anak-anak Desa Molinese yang jauh dari hingar bingar kota, sangat membanggakan dalam ikut melestarikan seni tradisional musik bambu. Salut.

Perempuan Seronok dan Miras, Sisi Lain Kendari Beach


Malam itu mobil yang membawa kami menyusuri Kendari Beach mulai mengurangi kecepatan. Namun, kami tidak bermaksud menepi di depan deretan warung remang-remang itu. 

“Mampir Mas…,” ucap seorang perempuan yang duduk menyilangkan pahanya, terlihat terang di tengah temaram malam. 

Kami hanya tersenyum satu sama lain. Mobil terus melaju pelan, seolah-olah kami sedang memilih tempat untuk singgah. 

“Mampir dulu Bos, mau kopi atau susu…?” kali ini seorang perempuan dengan tanktop hitam menyapa. 

Nyatanya malam itu, seperti malam-malam lainnya, kami tidak turun dan singgah di tempat itu. Deretan warung remang-remang itu terletak di ujung bagian utara Kendari Beach, yang memang dikenal dengan banyaknya perempuan-perempuan seronok nongkrong di depan warung. Mereka berdandan menor dan berpakaian minim untuk menarik laki-laki hidung belang mampir. Untungnya hidung saya tidak belang. 

Konon, warung-warung di kawasan itu juga menjual minuman keras (miras) dan tentu saja terbuka untuk transaksi seks. Berbeda dengan deretan kafe-kafe di deretan sebelah selatan jalan di sepanjang Kendari Beach. Mereka menjual suasana pinggir laut di malam hari untuk pengunjung yang beragam dan sejauh pengamatan saya tidak ada perempuan berdandan seronok yang berani mangkal di daerah ini. 

Beberapa kafe menyediakan karaoke di ruang terbuka dengan menampilkan layar lebar yang disorot dengan proyektor. Pengunjung biasanya hanya duduk-duduk sambil menikmati pengunjung lain yang menyanyi. Kawasan Kendari Beach memang dikembangkan oleh Pemkot Kendari sebagai destinasi kuliner. Menu khas seperti pisang epek dan minuman sarabba mudah kita dapatkan di kafe-kafe tenda. 

Namun, kehadiran warung remang-remang yang tidak jauh dari kawasan kuliner ini rupanya mulai mengganggu citra Kendari Beach. Rencana untuk menertibkan kawasan ini dari miras dan PSK kembali dilontarkan Pemkot Kendari, seperti yang diberitakan oleh sebuah harian lokal Kendari. Satpol PP dan kepolisian siap diterjunkan demi membersihkan Kendari Beach dari kegiatan negatif. 

Pertanyaannya adalah, bukankah penertiban sudah pernah dilakukan? Kok miras dan PSK masih banyak? Sekarang, jika penertiban diwacanakan lagi lewat koran, bisa-bisa target penertiban bakalan tiarap duluan. Inilah sebuah rencana yang khas birokrasi kita. Pemerintah setempat tidak memiliki solusi tepat untuk menjadikan Kendari Beach sebagai kawasan wisata yang bersih dari miras dan PSK. Kalau hanya penertiban yang “begitu-begitu” lagi, nanti juga bakalan balik lagi. Ah, lewat lagi ah…

Uniknya Pete-Pete Kendari


Jalan-jalan menyusuri Kota Kendari ternyata lebih asyik naik pete-pete. Oh, apa pula itu? Pete-pete adalah istilah tenar di banyak daerah di Sulawesi untuk menyebut angkot. Pete-pete di Kendari identik dengan jenis transportasi murah meriah, jauh dekat cukup Rp 2.500,-.

Nah, jalur utama yang paling banyak pete-pete adalah jalur Pasar Baru - Kota Lama. Dari mulai pasar barang RB (rombengan) atau barang bekas impor di Sentral RB, hingga areal tugu MTQ dan Kota Lama yang terkenal dengan toko emas terbaik khas Kendari, bisa kita capai dengan naik pete-pete ini. 

Enaknya naik pete-pete, kita bisa request tempat tujuan kita, meski sedikit melenceng dari jalur trayek yang resmi. Misalnya mau ke Kendari Beach, pak sopir tinggal belok sedikit sebelum Kota Lama demi mengantar si penumpang. Pete-pete di Kendari memiliki ciri khas yang cukup unik. Mereka rata-rata memiliki perangkat sound system dengan suara yang keren. Tinggal colok flashdisk atau SD card ke audio player, maka lagu-lagu terbaru pun menggema mengiringi perjalanan. Jangan heran meskipun sopirnya tua, tapi musik yang disetel adalah musik generasi anak muda sekarang macam Wali, ST 12, D’Bagindaz, Armada hingga Zivillia, band asli Kendari. 

“Memang maunya penumpang begitu, musiknya harus bagus…” tutur sopir pete-pete yang saya tumpangi. 

Betul juga, apalagi pengguna pete-pete di Kendari kebanyakan anak muda dan anak sekolah. Saat pagi dan siang hari adalah saat di mana pete-pete penuh oleh mereka yang berangkat dan pulang ke sekolah maupun kampus. 

“Minggir….!” teriak salah satu penumpang perempuan yang duduk di belakang. Suaranya hampir tak terdengar, tapi mendadak sopir menepikan pete-pete dan berhenti. 

Hmm, jika di banyak daerah isyarat untuk berhenti adalah “kiri”, tapi di Kendari anda harus bilang “minggir’ supaya pete-pete berhenti. Hebatnya, sekeras apapun musiknya, tapi sopir selalu bisa mendengar jika ada penumpang minta berhenti. Tak seperti angkot di Jakarta yang tanpa musik pun terkadang penumpang di belakang harus berteriak berkali-kali sambil memukul atap angkot. 

Ciri unik lainnya adalah, setir atau kemudi ukuran kecil. Yaps, rata-rata pete-pete telah mengubah ukuran standar setir menjadi kecil, mungkin seukuran piring makan. 

“Biar enak aja beloknya…” kata sopir. 

Memang soal manuver di jalanan, sopir pete-pete terkadang bak pembalap di sirkuit. Belok tajam, berhenti mendadak, mencuri start di lampu merah dan lain-lain aksinya. Tapi meski begitu, selama di Kendari saya belum menemukan berita kecelakaan yang melibatkan pete-pete. Pun sisi keamanan di dalam pete-pete, rasa-rasanya masih lebih aman naik pete-pete di Kendari daripada naik angkot di Jakarta. Saya pun belum pernah membaca di koran lokal tentang kejahatan di dalam pete-pete.

Berburu Ikan Kering di Pasar Basah Mandonga


Bilang saja “Pasar Basah Mandonga”, maka hampir semua orang Kendari pasti tahu. Letaknya di pusat kota dan di belakang mal. Tapi kalau anda orang Jakarta, jangan tertawa lho melihat ‘mal’ versi Kendari. Tentu jauh perbandingannya dengan mal-mal megah macam Plaza Senayan, ITC yang bertebaran di Jakarta, bahkan Blok M Mal yang di bawah terminal bis Blok M. 

Ah, saya nggak akan membahas perbedaan Jakarta dengan daerah, anda sudah paham sendiri bila pembangunan di negeri ini memang tidak merata. Saya hanya akan membahas ikan kering. Uhmm, apa bedanya ikan kering dan ikan asin yah? Kalau banyak orang bilang sih sama saja, cuma beda penyebutan, lidah orang kota dengan lidah orang daerah. Tapi kalau saya bilang sih agak beda, ikan kering itu jelas tidak basah (ya iyalah). Sementara ikan asin belum tentu kering (nah lho..). Coba saja ikan basah segar anda masak dengan banyak garam, kan jadi ikan asin toh? Nah, yang namanya ikan kering ternyata bisa menjadi komoditas oleh-oleh yang cukup unik. 

Orang datang berkunjung ke Kendari di Provinsi Sulawesi Tenggara pasti belum lengkap tanpa makan ikan laut. Soalnya daerah ini banyak pantai dan banyak pulaunya, so pasti banyak ikannya dong. Kalau sudah puas makan ikan laut segar yang dibakar atau digoreng, maka jenis ikan kering lah yang mesti dibawa untuk oleh-oleh keluarga di rumah. Pasar Basah Mandonga adalah pusatnya penjualan ikan kering di Kendari. Tepatnya di lantai dua. Agak janggal juga mendengarnya, disebut pasar basah kok jualnya barang kering? 

Ikan kering berbagai jenis bisa didapatkan di sini. Dari mulai yang kecil-kecil sekelas teri hingga yang ukuran besar seperti ikan hiu juga ada. Tapi tentu saja bukan jasad ikan hiu sebesar bajaj yang dijual utuh membujur kaku untuk dijual sebagai ikan kering, wah kalau yang model begitu sepertinya belum pernah ada tuh. Daging ikan hiu kering yang ada di Pasar Basah Mandonga ternyata sudah dipotong-potong kecil. Meski demikian, bukan ikan hiu kering yang jadi primadona ikan kering di sini. Jenis paling laris dan diminati oleh penikmat ikan kering adalah ikan sunu. 

Harga perkilogram ikan sunu kering berkisar pada 50 ribu rupiah untuk ukuran kecil dan 65 ribu rupiah untuk ukuran sedang. Dari puluhan lapak di Pasar Basah Mandonga, hampir semuanya mengandalkan ikan sunu kering. Seperti juga lapak langganan saya, yakni lapak milik pasangan suami istri Salam. Pasangan itu setiap hari rutin berjualan ikan kering dari pagi hingga sore hari. Namun, bukan berarti stok ikan sunu kering tak pernah mengalami kekosongan. Saat lebaran tahun lalu, banyak pelanggan harus kecewa karena ikan sunu kering sangat sulit didapatkan. 

“Ikan sunu banyak permintaan untuk diekspor ke luar daerah dan luar negeri, jadi saat seperti lebaran memang sering langka,” kata Bu Salam. 

Setelah beberapa bulan kosong, kini ikan sunu kering kembali hadir memenuhi lapak-lapak di Pasar Basah Mandonga. Pak Salam yang akrab dipanggil dengan sebutan Bapaknya Atun, terlihat begitu semangat mengepak ikan-ikan yang terjual di dalam kardus, sementara istrinya bertugas menimbang dan melayani pembeli. 

“Ini masih baru Mas, jadi bisa tahan lama kalau dibawa ke Jakarta,” ucap Bu Salam. Lho, tahu dari mana dia kalau saya mau bawa ke Jakarta? Padahal saya mau kirim ke Jawa Tengah kok, hehe. Di lapak pasangan itu beragam ikan kering terbilang lengkap. Selain hiu dan sunu, ada pula ikan merah, ikan putih, cumi kering serta terasi udang yang ukurannya gede-gede. Harga cumi kering yang berukuran sebesar telapak tangan manusia sekilonya adalah 150 ribu rupiah. Cumi kering menjadi favorit saya untuk dimasak kuah dengan cabe hijau. Hmm, nyam-nyam deh.

Katakan Cinta di Air Terjun Moramo, Sulawesi Tenggara


Air terjun Moramo di Sulawesi Tenggara, dapat menjadi saksi pernyataan cinta Anda kepada calon pasangan. Di sini terdapat air terjun yang unik dan nuansa alam indah. Konon, tempat ini pun dipercaya sebagai pemandian bidadari. 

Siapkan strategi pernyataan cinta Anda kepada calon pasangan, dengan cara mengajaknya berkunjung ke air terjun Moramo. Air terjun Moramo berada di Kawasan Suaka Alam Suaka Margasatwa Tanjung Peropa. Berjarak sekitar 60 km dari kota Kendari, Sulawesi Tenggara dan dapat ditempuh dengan menggunakan mobil. Selama perjalanan menuju air terjun Moramo, Anda akan disuguhkan pemandangan hutan yang hijau dan luas, beragam hewan dan tentunya udara yang sejuk. Air terjun Moramo berbeda dengan air terjun pada umumnya. 

Air terjun Moramo merupakan air terjun bertingkat dengan ketinggian 100 meter. Air terjun ini memiliki 7 undakan yang besar, serta puluhan undakan yang kecil. Selain itu, di sekitar air terjun juga terdapat banyak batu marmer besar dan menambah keelokan pemandangan. Suasana di sekitar air terjun sangat tenang dan alami. Gemercik suara air tejun dan dinginnya air dapat Anda rasakan. Selain itu, Anda juga bisa menjelajahi setiap tingkatan di air terjun ini. Tidak perlu takut, sebab daerah bebatuan di sekitar air terjun tidak licin. 

Tempatnya yang teduh dipercantik dengan banyaknya kupu-kupu akan menambah keindahan pesona air terjun Moramo. Jika beruntung, Anda dapat melihat pelangi sebagai biasan cahaya di sekitar air terjun. Tak heran, masyarakat setempat mempercayai tempat ini sebagai pemandian para bidadari karena keindahannya. Air terjun Moramo adalah salah satu tempat yang cocok untuk menyatakan cinta Anda kepada calon pasangan. Petualangan bersama menuju air terjun ini, hingga keindahan air terjun yang membuat Anda berdua terpesona, akan membuat pernyataan cinta Anda terasa lebih manis dan berkesan. (Kendarinews.com)

Resor di Wakatobi Dianugerahi Resor Ekowisata Terbaik di Dunia


MEMPERINGATI hari bumi pada 31 Maret 2012, situs wisata CNNgo membuat daftar hotel dan penginapan ekowisata terbaik di seluruh dunia. Hebatnya lagi, Wakatobi Dive Resort yang ada di Wakatobi, Indonesia, turut masuk dalam daftar tersebut. Resor yang ada di Sulawesi Tenggara itu disebut sebagai resor dengan salah satu lokasi diving terbaik di seluruh dunia, yang juga terus memfokuskan diri terhadap isu-isu konservasi laut dan juga pengembangan masyarakat. 

"Wakatobi Dive Resort membantu lingkungan di sekitarnya, mencegah terumbu karang sekitarnya rusak," tutur Justin Francis, pendiri responsibletravel, situs wisata yang turut menilai bagaimana resor ini bisa masuk dalam daftar hotel ekowisata terbaik di dunia. "Resor ini mempekerjakan 150 orang masyarakat setempat dan menciptakan program Collaborative Community Based Reef Management, yaitu membuat suaka terumbu karang," tutur Justin lagi. 

Desa-desa sekitarnya juga menerima insentif keuangan untuk meningkatkan infrastruktur mereka. Kontribusi lainnya dari resor ini adalah untuk pendidikan dan memperkuat dukungan lokal untuk melindungi kehidupan laut yang berharga di wilayah tersebut. Saat ini, program konservasi melindungi lebih dari 22 mil dari terumbu karang di wilayah tersebut. Setiap tamu yang menginap di resor ini dapat mengeksplorasi surga Wakatobi di bawah laut yang hanya terletak beberapa menit dari resor sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapainya. Selain itu di resor ini sudah disewakan penyewaan kapal, serta juga alat-alat selam. Ada pula fasilitas spa untuk memanjakan diri setelah lelah menyelam di laut. (ftr - KENDARINEWS.COM)