Rabu, 18 April 2012

Nenek Tua Penjual Pokea


Nenek tua itu duduk jongkok di pinggir jalan Lawata, Kota Kendari. Tangan kirinya memegang sebatang rokok yang menyala. Sesekali ia menghisap lintingan tembakau yang notabene mengandung racun itu. Tangan kanannya lebih sering ia tempatkan di kepalanya, memegangi tutup kepala yang ia kenakan. Mungkin ia kepanasan, karena sore itu udara masih terasa panas di sekitar Pasar Sore Lawata. 

Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Namun, pastinya nenek itu tidak sedang nongkrong tanpa tujuan. Di depannya terlihat sebuah ember lusuh yang ditutup dan di atasnya terdapat tiga wadah kecil berisi daging pokea. Nenek tua itu adalah salah satu penjual pokea atau kerang sungai yang jumlahnya di pasar itu hanya bisa dihitung tidak lebih dengan jari satu tangan saja. 

Pokea adalah istilah setempat untuk menyebut kerang air tawar yang hidup di sungai sekitar Kendari. Kebanyakan pokea berasal dari sungai besar di Sampara yang berjarak kurang lebih 20 kilo meter dari Kota Kendari. Satu wadah kecil pokea basah mentah, seperti yang nenek tua itu jual, harganya lima ribu rupiah. Sudah cukup untuk diolah menjadi hidangan untuk empat orang. 

Hasil olahan paling disukai dari pokea ini adalah sate pokea. Di beberapa tempat wisata di sekitar Kendari, terutama di daerah pantai, banyak terdapat warung yang menjajakan menu sate pokea. Kebanyakan pedagang sayur dan ikan di Pasar Lawata bisa bertahan hingga pukul sembilan malam, jika dagangannya belum habis terjual. 

Masih beberapa jam lagi waktu untuk nenek tua itu bisa menghabiskan pokea kepada pembelinya. Namun, ironisnya terdapat banyak waktu juga bagi nenek itu untuk terus menghisap rokoknya. Wajah tua keriputnya tidak seharusnya disiksa oleh racun nikotin. Keuntungan dari berjualan pokea pun pastinya tidak seberapa dan alangkah ruginya ketika ia “bakar” dan menguap menjadi asap rokok.

0 komentar:

Posting Komentar