Selasa, 17 April 2012

Melongok Petani Rumput Laut di Konawe Selatan


Bocah lelaki itu tampak bersemangat menarik gerobak kayu. Bersama seorang rekannya, ia membawa rumput laut hasil panenan ke tempat pengolahan yang jaraknya kurang lebih dua kilometer. Saat itu waktu masih menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Jadi, melihat bocah itu sibuk bekerja di waktu itu tentu orang bisa langsung membayangkan bahwa ia tidak lagi bersekolah. Toh, pekan lalu saat saya mengunjungi tempat budidaya rumput laut di Desa Watumeeto, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, saat itu bukanlah masa liburan sekolah. 

Lain lagi dengan para ibu-ibu dan remaja putri desa itu. Sejak pagi mereka telah meninggalkan rumah untuk berkumpul di rumah-rumah kayu di pinggiran laut itu. Sebagian besar dari mereka bertugas mengikat bibit rumput laut dengan tali yang panjang. Bibit rumput laut ini haruslah masih basah agar bagus ketika tumbuh di lautan. Sementara rumput laut hasil panenan dikeringkan di sekitar tempat itu oleh beberapa perempuan juga. 

Menurut warga setempat, memang ada pembagian kerja di tempat budidaya rumput laut, yakni kaum perempuan mengolah dan menjemur, sementara kaum lelaki bekerja di laut. 

“Satu kilo rumput laut kering dihargai delapan ribu, kadang tujuh setengah,” ujar salah satu petani rumput laut Desa Watumeeto. 

Sebuah angka yang kurang menguntungkan mengingat sekali panen dalam kisaran sebulan terkadang hanya menghasilkan 300 kilogram rumput laut kering. Rekor tertinggi saat panen pernah mencapai keuntungan 14 juta rupiah, itu pun sangat sulit disamai lagi karena berbagai faktor, antara lain cuaca. 

Memang petani rumput laut di Desa Watumeeto sulit beranjak dari taraf kehidupan saat ini mesti bisa dikatakan rumput laut adalah primadona ekspor terbaru dan sangat potensial. Rantai pemasaran yang terlalu panjang membuat petani yang sejatinya adalah ujung tombak malah menjadi pihak yang paling sedikit meraup untung. 

Para petani tergabung dalam suatu paguyuban, menjualnya kepada pengepul dari Kendari. Kabarnya setelah dari Kendari, rumput laut tersebut dibawa ke Surabaya dan entah diproses bagaimana lagi. Sebagian ada yang langsung diolah di pabrik, ada pula yang diekspor ke luar negeri dalam kondisi mentah. Sebagian warga Desa Watumeeto semula bekerja di kebun dengan mengandalkan tanaman jambu mete, kini mereka beralih mengolah rumput laut yang dirasakan menjanjikan. 

Namun, tanpa perhatian dan pembinaan dari pemerintah, nasib mereka tak akan menjadi lebih baik. Aplikasi teknologi untuk mendapatkan hasil panenan yang lebih baik belum maksimal masuk. Pun dalam hal permodalan. Hingga kini sebagian besar petani hanya mendapatkan modal dari pengepul yang mengikatnya dalam kontrak hasil panen. Sistem inilah yang semakin mendesak petani . Rumput laut memang hijau, segar dan menggiurkan. Tetapi jasa petani di sini seolah terlupakan.

0 komentar:

Posting Komentar