Selasa, 17 April 2012

Ikan Bakar, Sayur Kampung dan Romusha


Matahari sudah menghilang ketika kami tiba di Desa Matabubu Jaya, Kecamatan Lainea, kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam dari Kota Kendari telah membuat perut kami lapar. Untungnya isi otak kami berlima sama saat merencanakan menu apa yang pantas dinikmati saat itu. 

Yups, ikan bakar adalah satu-satunya yang terbayang. Kami menyusuri jalanan desa yang sepi malam itu hingga ke Dermaga Matabubu. Hanya ada dua warung makan yang ada di desa itu. Dua-duanya menawarkan menu ikan bakar di papan nama warung. Bukan suatu hal yang mengejutkan mengingat desa itu merupakan wilayah pesisir. Kami memilih satu warung yang terbuka, seorang ibu agak gemuk menyambut kami. Ketika kami tanyakan apakah masih ada ikan bakar, ia mengangguk dan segera mengambilkan ikan-ikan yang masih segar untuk kami pilih. 

Hanya ada ikan bandeng atau warga setempat menyebutnya dengan istilah ikan bolu, serta jenis ikan putih atau yang biasa kita kenal sebagai ikan kakap. Kami pun memilih jenis yang kedua untuk dibakar. 

“Tunggu sebentar nah, saya masak dulu nasi dan ikannya…” kata si ibu sambil menuju ke dapur. 

Hal biasa di daerah pedalaman Sulawesi, apabila sebuah warung mesti menyiapkan menunya, termasuk nasi, ketika pengunjung datang. Karena ada pengunjung adalah hal yang luar biasa, itu pun bisa dipastikan pendatang, karena warga setempat pastinya tidak terbiasa makan di warung. Seperempat jam menunggu membuat kami gatal juga. Akhirnya kami pun ikut ke dapur nan gelap dan hanya diterangi sinar lilin itu untuk menawarkan bantuan pada si ibu. 

“Kami saja yang bakar ikan bu…” si ibu tertawa dan dengan senang hati ia memperbolehkan kami membakar ikan di atas tungku arang dan batok kelapa. 

Sementara nasi dimasak di atas tungku itu juga dengan dandang yang sudah berwarna hitam. Tak perlu bumbu macam-macam untuk membakar ikan ala Tolaki, suku bangsa asli Kendari dan sekitarnya. Cukup dioles minyak sayur dan jeruk Tolaki. Jeruk ini agak lain dengan jeruk nipis biasa, airnya lebih banyak. 

“Sambalnya pedis?” tanya si ibu. 

“Ya…” jawab kami. 

Sambal untuk teman makan ikan bakar ala Tolaki juga sederhana, cukuplah cabe merah dan tomat diuleg. Lima belas menit kemudian si ibu melongok pekerjaan kami. 

“Sudah itu, diangkat mi… jangan terlalu masak, namanya ikan laut lebih enak dimakan saat masih berdarah-darah…” ujarnya sambil tersenyum. 

Tentu saja ia hanya bercanda, tak mungkin ikan berdarah-darah kita makan. Maksudnya jika ikan masih segar, dibakar tanpa gosong tentu lebih enak. Dan saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, ikan putih bakar lengkap dengan sambal dan nasi putih panas telah tersaji di meja. 

“Sebentar nah, sayurnya menyusul…” Lima menit kemudian si ibu itu muncul dengan membawa semangkuk besar sayur berkuah yang panas dan masih berasap. 

“Ini namanya sayur kampung, tak ada di kota,” katanya menunjuk sayur berkuah yang terdiri dari potongan kacang panjang dan sayur oyong. 

Dengan lahap kami makan hingga menghabiskan dua bakul nasi putih dan lima ekor ikan putih bakar ukuran besar. Sayur kampung pun menjadi penutup makan yang luar biasa. Sebuah kombinasi dan cita rasa menu yang jarang kita dapatkan. Selepas makan kami menyempatkan ngobrol dengan ibu pemilik warung itu. Dan betapa kagetnya kami ketika ia mengaku keturunan Jawa asli padahal logatnya sama sekali sudah plek mirip orang Sulawesi. 

“Ayah saya asli Magelang, ibu dari Surabaya, tapi saya lahir dan besar di sini, jadi logat Jawa sudah hilang, ke Jawa saja ndak pernah…” 

“Oh, ibu transmigran tahun berapa?” 

“Bukan, orang tua saya dulu romusha dibawa Jepang ke sini, sampai sekarang ndak pernah pulang…”

“Oooh…” kami hanya bisa ber-oh-ria, membayangkan sekitar tahun 1940-an di desa itu bagaikan membayangkan sebuah hutan lebat pastinya. 

“Saya sih bisa bahasa Jawa, tapi logatnya logat sini… ngomong Jawa juga kalau ketemu orang trans di pasar…” 

Puas makan dan ngobrol akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Si ibu meminta Rp. 150.000,- untuk menu yang ia sajikan malam itu. 

“Maturnuwun yo bu…” 

 “Nggih mas…”

0 komentar:

Posting Komentar